Sabtu, 16 Januari 2010

INGIN KU BUNUH SAHABATKU

Aku terdiam, merenungi nasibku seorang diri, dalam kesendirian yang mencengkram batinku. Aku tak pernah berharap lebih dari sebuah persahabatan kecuali sebuah kebersamaan dan kepercayaan yang pasti dari sahabat-sahabatku. Aku pun tak ingin meminta lebih dari mereka kecuali kasih sayang dan perhatian mereka. Peristiwa malam itu benar-benar membuatku cukup miris hingga sekujur tubuhku rubuh dan lunglai, tak mampu menahan kepedihan yang teramat menyakitkan dari beberapa kata yang ku dapat dari sahabatku. “Kini aku tak bisa lagi menaruh simpati seperti dulu ke kamu setelah kamu melunturkan kepercayaanku terhadapmu, dasar pembohong...!” Aku tak pernah berpikir sampai sejauh itu, aku tak pernah membayangkan betapa sakitnya menerima kenyataan malam itu. Kini aku tahu satu hal tentang sebuah persahabatan, Persahabatan akan retak jika rasa kepercayaan sudah tak lagi ditanamkan dalam sebuah persahabatan. Bahkan aku sendiri tak tahu pasti permasalahan yang terjadi antara aku dan mereka, tiba-tiba mereka menuduhku melakukan hal-hal konyol yang membuat mereka marah dan benci kepadaku. Aku sendiri tak tahu apa hal-hal konyol yang mereka tuduhkan kepadaku malam itu, mereka hanya bilang bahwa aku bukan seorang sahabat yang pantas untuk di pertahankan, aku juga bukan seorang sahabat yang pantas untuk mereka. Coba pikir secara dalam, sahabat mana yang tak akan sedih dan perih mendengar kenyataan itu dari mulut seorang sahabat dekat yang sudah seperti saudara kandung. Selama bertahun-tahun bahkan sejak kecil hingga remaja, aku selalu bersama mereka, mungkin kalau di hitung sudah lebih dari 10 tahun kami bersahabat. Aku mengenal mereka semenjak aku satu SD dengan mereka, aku ingat sekali waktu mereka berempat menyapaku dengan senyuman manis mereka yang cukup membuatku merasa terhormat. Merekalah yang pertama kali menjadi teman belajar sekaligus teman bermainku. Sebelumnya aku memang tak mengenal mereka karena aku belum pernah melihat mereka sebelum aku masuk sekolah. Mungkin karena aku jarang bermain, karena aku sering kungkum di dalam rumah sehingga aku menjadi gadis kecil yang kuper (kurang pergaulan). Ibuku sering bercerita kepadaku dan kepada kakak-kakakku bahwa sejak aku dilahirkan aku sering sakit-sakitan. Bahkan Ibuku sering berjanji kepadaku jika aku sembuh, Ibuku akan membelikanku gelang juga kalung. Mungkin do’a Ibuku sering terkabulkan, aku sembuh dan Ibuku pun menepati janjinya untuk membelikanku gelang dan kalung. Namun, aku malah menghilangkan pemberian dari Ibu ketika aku beserta keluarga besarku menginap disalah satu rumah saudara kami ketika mengadakan pernikahan. Kata Ibu, mungkin gelangku hilang di curi orang, karena waktu saat aku terbangun, tiba-tiba aku menangis cukup keras dan Ibu menghampiriku, Ibu terkejut ketika melihat perhiasanku raib begitu saja. Kata Ibu, aku menangis karena aku terbangunkan oleh seseorang yang mungkin mengambil gelang dan kalungku itu sehingga membuatku takut dan mengeluarkan air mata. Mungkin karena saking pendiamnya diriku ini, aku jadi tak begitu mengenal sosok orang-orang di sekitarku. Tapi… ketika aku sudah lulus SD, tepat ketika aku kelas tiga SMP, entah ada apa dengan diriku waktu itu, tiba-tiba segala rasa takut, canggung dan kurang percaya diriku hilang begitu saja. Mungkin hal itu terjadi karena terpengaruh dengan pergaulan sahabat-sahabatku yang begitu nemplok dalam diriku. Ya… Merekalah yang mengubah hidupku menjadi sedemikian pemberani dan suka dengan hal-hal yang berbau ketegangan dan misteri. Aku memang tak pernah memecahkan sebuah misteri yang ada di kehidupanku, tapi aku cukup membuat hal-hal yang ada dalam hidupku adalah sebuah kemisteriusan. Bahkan terkadang, aku menganggap sahabat-sahabatku itu sebuah misteri yang belum terpecahkan sampai sekarang. Makannya mereka sering menganggapku aneh dan suka bertingkah konyol. Dan kini aku tahu satu hal lagi tentang kehidupan, semua yang ada disekitar lingkungan kita, mampu mempengaruhi kehidupan kita. Kini mereka menjauhiku, membiarkanku sendirian di tepian jalan ini dengan berbungkus jacket hitam. Mereka seakan ingin membuangku jauh-jauh dari kehidupan mereka, bahkan mereka seakan menyesal telah mengenal dan menjadikan aku sebagai sahabat mereka selama bertahun-tahun. Mungkin dari mereka ada bilang seperti ini, “Gadis aneh dan konyol seperti dia tak seharusnya menjadi sahabat kita”. Mungkin juga ada yang berkata seperti ini, “Cukup malam itu saja terakhir kalinya kita bicara dengan gadis yang namanya Tisna Saliza Indriani, dan sebaiknya kita menjauhinya.” Ah, itu pasti akan membuatku semakin miris jika memang benar. Lalu… Siapa yang akan menemani kesendirianku? Siapa yang akan menegurku jika aku melakukan kesalahan, siapa yang akan memberiku kesempatan mengoreksi kesalahanku jika mereka pergi, siapa yang akan menjadi pelipur laraku ketika aku sedang bersedih, dan siapa pula yang akan menjaga dan melindungiku dari gangguan para cowok-cowok rese’ yang suka menganggu ketenangan hidupku. Aku memang tak punya musuh, tapi kini, mereka seakan musuh terbesarku dalam hidupku yang menentang semua keinginanku untuk tetap bersama mereka. Mereka hanya salah paham, mereka sendiri tak tahu pasti siapa yang mengadu kepada mereka bahwa aku selama ini sering membohongi mereka. Bohong apa? Aku sendiri tak tahu telah berbohong apa kepada mereka. Ku cari-cari beberapa kesalahan dan kebohongan yang pernah ku perbuat pada mereka, tapi aku tak pernah menemukannya sejak peristiwa menyesatkan malam itu. Nita Mardiana, Lidia Megawati, Ryan Malikan dan Dwi Hana Pambudi. Mungkin mereka berlima salah tangkap dalam masalah itu, tapi mereka menyimpulkannya dengan sesuatu yang terlalu berlebihan sehingga membuat mereka membenciku. Aku tak mungkin bisa hidup tanpa mereka, aku tak mungkin bisa berdiri tegak tanpa ada mereka disampingku. Semakin malam, semakin dingin angin malam yang berkeliaran di tempat ini. Semakin kencang, semakin membuatku menggigil kedinginan, tapi aku belum siap untuk pulang ke rumah sebelum aku mengetahui letak kesalahanku kepada mereka. Suara langkah kaki seseorang yang bersepatu membuat pendengaranku semakin tak karuan. Semakin bising dan semakin ingin aku memarahi diriku sendiri. Tiba-tiba aku mendengar suara seorang pemuda yang khas di telingaku dari belakang tempatku duduk di pinggir jalan raya ini. Ia memanggil namaku dengan sebutan gadis tomboy, ah… aku sendiri juga menganggap bahwa diriku yang dulu dan sekarang sangat berbeda, sekarang aku seakan seperti gadis yang bersifat lelaki. Sifat pemalu dan minderanku yang dulu melekat di kehidupanku telah lenyap begitu saja di buang oleh sahabat-sahabatku. Ya… Sahabat-sahabatku yang kini seakan menjadi musuh dan orang terasing bagiku. Andai aku bisa membaca pikiran mereka, pastinya aku tahu apa yang mereka pikirkan tentang diriku selama ini. Tapi bodohnya, aku tak pernah mengharap kepada Tuhan untuk bisa membaca pikiran orang lain, paling tidak sahabatku. Langkah kaki pemuda yang menegurku tadi serasa semakin dekat ke arahku, ku-meliriknya setelah ia benar-benar berada di dekatku, duduk disampingku sambil tersenyum menatap mataku. “Penyesalan memang sering datang belakangan.” Tiba-tiba ia mengucapkan kata-kata yang membuat otakku yang pas-pasan dalam menangkap pemikiran orang lain ini semakin tak mengerti. Mungkin, ia mengira aku menyesal karena kejadian malam itu, karena memang ia tahu kejadian itu, bukan cuman dirinya, tapi teman-teman yang ikut menghadiri acara reuni SMA juga sebagian besar tahu. Mereka hanya terbengong-bengong dan diam melihat aku dan keempat sahabatku adu mulut. Pemuda disampingku ini tak lain dan tak bukan adalah teman semasa SMAku dulu, kami memang tak begitu dekat seperti kedekatanku dengan keempat sahabatku. Tapi ia cukup baik dan terkadang membuatku cukup terhibur disaat ia tiba-tiba muncul dihadapanku saat aku sedang sedih dan disaat keempat sahabatku tak bisa menghiburku. Seperti malam ini, ia tiba-tiba muncul tanpa ku panggil. “Untuk apa kau mengikutiku?.” Kucoba bertanya kepadanya. “Aku hanya tak ingin kamu melakukan hal-hal konyol yang membuat semua orang kehilanganmu.” “Aku masih punya Tuhan, aku masih sayang dengan nyawaku, dan aku masih ingin menghabiskan waktuku di bumi ini.” “Dan kau tak ingin meninggalkan sahabat-sahabatku dalam waktu yang cepat.” “Siapa sahabat-sahabatku?.” “Nita, Lidia, Ryan dan Hana.” “Mereka sudah bukan sahabatku lagi, lebih tepatnya mereka mantan sahabatku.” “Di dunia ini tak ada kata mantan sahabat.” Aku merasa terdiam, dia benar, di dunia ini tak ada kata mantan sahabat, yang ada mantan kekasih, mantan majikan maupun mantan pembantu, mantan pegawai atau bahkan mantan istri dan mantan suami. “Kalau bukan mantan sahabat, lalu mereka siapaku?.” “Mereka tetap sahabatmu, meskipun kamu merasa mereka sudah tak memperdulikanmu, meskipun kamu meresa telah berbuat kesalahan besar terhadap mereka.” “Merasa? Mereka memang tak peduli lagi denganku, aku memang telah berbuat kesahalan besar pada mereka.” “Memangnya kamu sudah tahu persis letak kesalahanmu?.” Aku berpikir lagi, dari mana ia tahu bahwa sampai malam ini aku belum menemukan letak kesalahanku terhadap keempat sahabatku itu. Apa mungkin ia tahu apa yang aku pikirkan? Tapi dia bukan peramal seperti Mama Lauren maupun Ki Joko Bodo, apalagi Om Deddy Corbuzier. “Benarkan? Kamu belum tahu dimana letak kesalahanmu?.” Ia kembali bertanya, membuatku semakin penasaran dengan tebakannya yang tepat itu, sehingga membuatku berbalik tanya darimana ia tahu bahwa aku masih mencari-cari kesalahan yang telah ku lakukan terhadap mereka. “Malam itu kamu kelihatan bingung, kamu juga sangat terkejut dengan pernyataan mereka bahwa kamu adalah seorang pembohong. Kamu memang tak menyangkalnya, tapi aku sendiri tak tahu kenapa kamu hanya terdiam dan tak mau membela dirimu. Tapi yang ada dalam benakku, aku berpikir bahwa kamu sendiri tak tahu apa yang telah kamu lakukan sehingga membuat mereka sangat marah kepadamu. Dari situlah aku menyimpulkan bahwa kamu tak bisa membela dirimu karena kamu sendiri tak mampu membela dirimu.” Aku kembali terdiam, ia benar-benar tahu apa yang terjadi padaku malam itu, ia bahkan langsung menebaknya. “Hebat…! Kamu benar-benar hebat Ka, seorang Azka yang pendiam namun pemberani, mampu menebak pikiranku.” “Kau salah, aku hanya menimbang kata-katamu malam itu hingga mampu ku simpulkan apa yang ada dalam pikiranmu.” Kini aku tahu satu hal lagi, Hanya dengan mengetahui karakter seseorang, seseorang bisa mengetahui apa yang dipikirkan orang lain. Tapi herannya, kenapa aku nggak bisa menebak pikiran orang lain? Aku nggak bisa membaca pikiran orang lain, aku bukan Azka yang pandai menimbang-nimbang karakter orang lain sehingga mampu menyimpulkan pikiran orang lain. “Aku memang bukan pemuda yang pandai memecahkan masalah orang lain, tapi aku suka membantu memecahkan masalah orang lain.” “Aku sendiri tak mampu memecahkan masalah ini, apalagi kamu yang tak terlibat dalam masalah ini. Aku yakin kau tak akan mampu membantuku dalam hal ini, sebaiknya urungkan saja niatmu.” “Seseorang yang hebat adalah seseorang yang mau menghargai niat baik seseorang tanpa meremehkannya.” Aku tak menyangka ia akan menyindirku seperti itu, membuatku mesti harus meminta maaf kepadanya. Namun, yang bikin aku tak pernah berhenti terheran-heran, ia begitu tenang menanggapiku, ia selalu terlihat stay cool setiap saat. Bahkan, membuat diriku harus memberikan dua jempol atas karakternya, meskipun secara diam-diam. Aku sempat berpikir, bagaimana ia bisa sering sendirian, punya sedikit teman, padahal ia baik, apa karena ia begitu polos dan pendiam sehingga membuat dirinya tak begitu suka berkumpul dengan orang banyak? Bahkan, setahuku, akulah teman yang paling dekat dengannya, meskipun dia bukanlah teman yang paling dekat denganku. Namun, malam ini begitu terasa beda, ia seakan telah menjadi teman yang paling dekat denganku. Tapi mengapa sahabat-sahabatku tak ada yang bisa seperti Azka, polos, pendiam namun punya karakter yang cukup membuatku kagum. Nita, gadis bawel yang sangat cerewet yang hoby sekali tidur. Lalu Lidia, gadis manja nan lucu yang pipinya selalu terlihat cubby, membuatku dan sahabat-sahabat yang lainnya ingin selalu mencubiti kedua pipinya. Kemudian Hana, cowok yang rese habis, ricuh namun jenius, yang paling sering menjahiliku. Dan Ryan, cowok simple yang asyik untuk diajak sharing. Lalu bagaimana dengan diriku? Aku tak pernah tahu pasti seperti apa karakterku, aku hanya tahu dari mereka bahwa gadis yang bernama Tisna Saliza Indriani adalah seorang gadis yang aneh bin misterius, susah di tebak, bahkan terkadang terlihat konyol karena tingkah lakunya. Itu aku… Aku pun membenarkan pendapat mereka tentang diriku, mungkin seperti itulah aku yang sekarang. Akupun berpikir kembali bahwa aku hanya manusia biasa yang terlihat sangat biasa dan tak berdaya diantara manusia-manusia biasa ciptaan Tuhan. Lebih tepatnya aku bukanlah manusia yang sempurna. Bahkan, untuk melihat pipi, punggung dan mencium salah satu sikukupun aku tak akan pernah mampu. Tuhan… Mengapa disaat aku bersedih Sahabat-sahabatku justru pergi meninggalkanku Tuhan… Mengapa disaat aku butuh mereka dan merindukan mereka Mereka justru tak datang menemuiku Ternyata, tak selamanya seorang sahabat akan mengerti perasaan sahabatnya. Mungkin, inilah yang disebut dengan penghianatan dalam sebuah persahabatan

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mas,,kalau bisa gambarnya diperbanyak..